Wednesday, February 17, 2010

Kebebasan Berpendapat dalam Internet dan Perangkat Penanganannya

Beberapa waktu lalu perhatian kita tertuju kepada haru biru Internet di Indonesia. Belum selesai pihak Kepolisian Republik Indonesia menangani kasus prostitusi dan perjudian via Internet, masyarakat dikejutkan dengan terbitnya sebuah komik elektronik berbahasa Indonesia yang menistakan Nabi Muhammad Saw dan menyakitkan hati umat Islam di negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini.

Figur suci yang menjadi panutan ummat sedunia digambarkan begitu rendah, amoral, angkuh dan sembrono. Tentu saja ini merupakan tindakan provokatif dan sudah tidak dapat disembunyikan lagi di balik kedok kebebasan bersuara.

Yang menjadi perhatian kita adalah bahwa kasus ini terjadi di Internet, yaitu media lintas teritorial dengan ekologi tersendiri. Tidak seperti media-media massa konvensional seperti media penyiaran (TV, Radio) atau pers cetak, pemuatan informasi di Internet dapat dilakukan oleh siapa saja yang tersambung ke jaringan Internet, bahkan tanpa harus memiliki perangkat komputer sendiri atau berlangganan koneksi secara langsung.

Konsekuensinya, informasi yang dimuat di Internet biasanya tanpa melalui proses editorial sehingga tidak terkontrol dari segi kualitas, format, substansi, sensitivitas informasi ataupun dari segi keabsahan sumber informasi tersebut.

Fenomena pemuatan komik penghinaan di blog ini bukan yang pertama kali terjadi, dan hampir pasti bukan yang terakhir. Jika kita telusuri, masih banyak situs di Internet yang mengandung pencelaan terhadap Islam, baik yang berupa gambar, animasi, teks, audio maupun video. Sebagiannya menyajikan diskusi dan bantahan dari umat Islam sendiri yang merespon secara langsung.

Terlepas dari perbedaan motif yang melatarbelakanginya, pemuatan informasi yang bersifat non-etis, asusila dan anti sosial ini juga bukan fenomena Indonesia saja. Hampir setiap negara yang memilih untuk membuka masyarakatnya ke era informasi terpaksa berhadapan dengan tantangan seperti ini. Bedanya adalah, nilai sosial yang tidak sama membedakan materi apa yang dianggap tidak sesuai atau perlu dibatasi.

Di Amerika Serikat, misalnya, pembatasan muatan informasi Internet diarahkan terhadap muatan yang bersifat eksploitasi seksual terhadap anak. Di Australia dan Singapura pembatasan mencakup muatan kekerasan. Ketika Cina membatasi muatan pornografis dan anti-komunisme, Thailand lebih bermasalah dengan muatan yang mencela raja mereka.

Di banyak negara Eropa daratan seperti Jerman dan Perancis, muatan yang bersifat anti-semitisme dan pemujaan nazisme merupakan hal yang tabu bahkan dilarang. Sampai-sampai dua perusahaan mesin pencarian raksasa Google dan Yahoo! pernah dipermasalahkan karena menyajikan entry berbau nazisme dan anti-semitis bagi komunitas Internet disana. Di negara-negara Muslim, logis saja, muatan yang menistakan ajaran Islam –seperti pelecehan terhadap Nabi Muhammad dan Al-Qur’an– tidak akan bisa ditolerir.

Benang merah yang bisa ditarik disini, di kehidupan masayarakat manapun di dunia ini, nilai etika (dan hukum) yang dianut tidak akan hilang begitu saja hanya karena mereka sudah mengadopsi Internet dan menjadi bagian dari masyarakat informasi dunia.

source : click here..

No comments:

Post a Comment

Wednesday, February 17, 2010

Kebebasan Berpendapat dalam Internet dan Perangkat Penanganannya

Beberapa waktu lalu perhatian kita tertuju kepada haru biru Internet di Indonesia. Belum selesai pihak Kepolisian Republik Indonesia menangani kasus prostitusi dan perjudian via Internet, masyarakat dikejutkan dengan terbitnya sebuah komik elektronik berbahasa Indonesia yang menistakan Nabi Muhammad Saw dan menyakitkan hati umat Islam di negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini.

Figur suci yang menjadi panutan ummat sedunia digambarkan begitu rendah, amoral, angkuh dan sembrono. Tentu saja ini merupakan tindakan provokatif dan sudah tidak dapat disembunyikan lagi di balik kedok kebebasan bersuara.

Yang menjadi perhatian kita adalah bahwa kasus ini terjadi di Internet, yaitu media lintas teritorial dengan ekologi tersendiri. Tidak seperti media-media massa konvensional seperti media penyiaran (TV, Radio) atau pers cetak, pemuatan informasi di Internet dapat dilakukan oleh siapa saja yang tersambung ke jaringan Internet, bahkan tanpa harus memiliki perangkat komputer sendiri atau berlangganan koneksi secara langsung.

Konsekuensinya, informasi yang dimuat di Internet biasanya tanpa melalui proses editorial sehingga tidak terkontrol dari segi kualitas, format, substansi, sensitivitas informasi ataupun dari segi keabsahan sumber informasi tersebut.

Fenomena pemuatan komik penghinaan di blog ini bukan yang pertama kali terjadi, dan hampir pasti bukan yang terakhir. Jika kita telusuri, masih banyak situs di Internet yang mengandung pencelaan terhadap Islam, baik yang berupa gambar, animasi, teks, audio maupun video. Sebagiannya menyajikan diskusi dan bantahan dari umat Islam sendiri yang merespon secara langsung.

Terlepas dari perbedaan motif yang melatarbelakanginya, pemuatan informasi yang bersifat non-etis, asusila dan anti sosial ini juga bukan fenomena Indonesia saja. Hampir setiap negara yang memilih untuk membuka masyarakatnya ke era informasi terpaksa berhadapan dengan tantangan seperti ini. Bedanya adalah, nilai sosial yang tidak sama membedakan materi apa yang dianggap tidak sesuai atau perlu dibatasi.

Di Amerika Serikat, misalnya, pembatasan muatan informasi Internet diarahkan terhadap muatan yang bersifat eksploitasi seksual terhadap anak. Di Australia dan Singapura pembatasan mencakup muatan kekerasan. Ketika Cina membatasi muatan pornografis dan anti-komunisme, Thailand lebih bermasalah dengan muatan yang mencela raja mereka.

Di banyak negara Eropa daratan seperti Jerman dan Perancis, muatan yang bersifat anti-semitisme dan pemujaan nazisme merupakan hal yang tabu bahkan dilarang. Sampai-sampai dua perusahaan mesin pencarian raksasa Google dan Yahoo! pernah dipermasalahkan karena menyajikan entry berbau nazisme dan anti-semitis bagi komunitas Internet disana. Di negara-negara Muslim, logis saja, muatan yang menistakan ajaran Islam –seperti pelecehan terhadap Nabi Muhammad dan Al-Qur’an– tidak akan bisa ditolerir.

Benang merah yang bisa ditarik disini, di kehidupan masayarakat manapun di dunia ini, nilai etika (dan hukum) yang dianut tidak akan hilang begitu saja hanya karena mereka sudah mengadopsi Internet dan menjadi bagian dari masyarakat informasi dunia.

source : click here..

No comments:

Post a Comment